Penulis: Tessa Sitorini, Ambasador Home-Start
Kabar Belanda.com – It takes a village to raise a kid. Ungkapan ini menunjukkan, bahwa mengurus dan membesarkan anak itu perlu bantuan dari banyak orang. Kalau perlu, orang sekampung.
Pertama tiba di Belanda, Desember 2012, saya membawa anak yang masih berusia 5 bulan, juga masih menggunakan visa turis, karena izin tinggal belum keluar.
Ini adalah sebuah kesalahan besar, karena saat itu musim dingin. Suhu mencapai beberapa derajat di bawah nol. Bahkan minggu pertama saya di sana ada badai salju, hingga saya kesulitan untuk sekadar berbelanja ke supermarket. Padahal jaraknya hanya 1 kilometer. Sedih rasanya saat itu.
Belajar dari pengalaman itu, kunjungan berikutnya ke Belanda, saya membawa anak di akhir April. Matahari bersinar terang dan udaranya sejuk.
Tiga bulan pertama tinggal di Amsterdam, saya masih merasa sebagai turis. Semua tempat dijelajahi. Saya pun sedikit-sedikit mulai belajar bahasa Belanda. Pertama coba-coba bicara bahasa Belanda di supermarket, rasanya agak memalukan.
Suatu hari, saya bertanya kepada salah seorang karyawan supermarket (medewerker), di mana menyimpan softner (wasverzachter). Dengan lantang saya tanya mereka dalam bahasa Belanda, “Hebben jullie wasverkrachter?” Si karyawan itu melongo mendengar kata “wasverkrachter”. Tahu nggak? verkrachter itu artinya pemerkosa. Duh…
Tapi memang tiada cara lain. Satu-satunya cara untuk melancarkan bahasa Belanda, ya kita harus berinteraksi dengan siapa pun. Mau itu dengan tetangga, tukang pos, tukang daging, tukang buah, pedagang di pasar dan lain-lain.
Kemudian waktu berlalu dan musim pun berganti.
Namanya pernikahan, di mana-mana tidaklah mudah. “It’s a top sport,” kata orang Belanda. Pernikahan saya bukan perkecualian. Saya menikah dengan duda yang memiliki seorang putri dari pernikahan sebelumnya dengan orang Belanda. Beradaptasi dengan pasangan saja sudah tantangan, apalagi ditambah komponen lain berupa blended family. Maka tantangan mulai menyeruak di akhir tahun pertama.