Ririn, diantar suaminya menggunakan mobil, mendatangi Den Haag, yang berjarak 37 kilometer dari Alphen aan den Rijn, untuk melegalisir Akta Kelahiran dari gemeente di Ministerie Buitenlandse Zaken (Kementrian Luar Negeri Belanda). Kantor Kemenlu berlokasi di seberang stasiun Den Haag Centraal. Biaya legalisirnya 10 euro.
Ririn tidak perlu membuat janji terlebih dulu. Ia langsung mendatangi loket kantor tersebut, yang buka setiap hari kerja, dari pukul 09.00 sampai 12.30.
Ririn memberi tips, agar datang sebelum jam 9, agar mendapat nomor antrian awal, dan menunggu tidak terlalu lama, sehingga pada siang harinya ia bisa mendatangi kantor KBRI.

“Saya rencananya datang sebelum jam 9, tapi ternyata macet di jalan. Jadi telat 5 menit. Saya dapat nomor antrian 7,” ucap Ririn. Hanya 5 menit menunggu, ia pun dipanggil, dan 10 menit kemudian aktanya sudah selesai dilegalisir.
“Setelah legalisir di Kemenlu Belanda, saya mampir ngopi dulu karena masih punya banyak waktu. Janji di KBRI masih 2 jam lagi,” tambah perempuan asal Ternate itu, sambil tersenyum.

Legalisir di KBRI Den Haag
Akta Kelahiran yang sudah dilegalisir di Kemenlu Belanda kemudian bawa ke kantor KBRI Den Haag untuk dilegalisir. Biayanya 25 euro. Ririn menunggu sekitar 10 menit sampai selesai dilegalisir.
Setelah Akte Kelahiran dilegalisir, pihak KBRI meminta dokumen lain untuk membuat Bukti Pencatatan Kelahiran. Ririn kemudian menyerahkan formulir, akta yang sudah dilegalisir, paspor miliknya (sebagai ibu), paspor suami (ayah), dan kedua paspor anaknya (paspor Indonesia dan paspor Belanda, karena berdasarkan UU No. 12/ 2006 tentang Kewarganegaraan RI, anak yang masih di bawah usia 18 tahun memiliki kewarganegaraan ganda terbatas).

Semua dokumen tersebut difotokopi oleh petugas, kemudian dokumen aslinya dikembalikan kepadanya. Ririn diminta menunggu. Kira-kira 30 menit kemudian Surat Bukti Pencatatan Kelahiran pun selesai, tanpa dikenakan biaya sepeser pun alias gratis.
Demikian pengalaman Ririn Oltvoort dalam mengurus dokumen bagi anak laki-lakinya itu, tanpa ribet dan memakan waktu lama.
Ririn, yang berencana bekerja kembali (berhenti kerja setelah menikah pada 2019) itu mengharapkan agar pengalamannya ini bisa menjadi inspirasi bagi para diaspora Indonesia yang ingin mengurus Surat Bukti Pencatatan Kelahiran anak.***