Penulis: Dian Suwarsaputri
Kabarbelanda.com, Hilversum – Dilema ibu bekerja di mana pun sama, seperti pertanyaan berikut ini: “Bagaimana nanti setelah melahirkan, akan kerja paruh waktu kah? Terus nanti bayinya siapa yang jaga?” Pertanyaan-pertanyaan ini juga menghinggapi ibu-ibu hamil yang bekerja kantoran di Belanda.
Bekerja atau berkarir sekaligus mengurus anak merupakan tantangan yang sangat berat. Berbeda dengan di Indonesia yang begitu mudahnya mencari dan menggaji pembantu rumah tangga, di Belanda tidak lazim menyewa pembantu atau pengasuh anak yang menginap. Kecuali jika faktor keuangan bukan masalah bagi anda.
Orang-orang pada umumnya melakukan sendiri seluruh pekerjaan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, berkebun, belanja, hingga mengurus anak. Untungnya di Belanda suami dan istri mempunyai tugas yang setara dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Berbeda dengan di Indonesia -yang kemungkinan karena faktor budaya patriarki- dimana pekerjaan rumah tangga pada umumnya dikerjakan sendirian oleh istri atau oleh seorang pembantu bahkan lebih. Di Belanda suami juga sangat berperan dalam melakukan kegiatan rumah tangga dan mengurus anak.

Jika suami dan istri bekerja, sedangkan anak-anak masih kecil (balita atau masih duduk di SD), untuk menyewa jasa pembantu atau pengasuh anak, sangat berat atau tidak terjangkau. Bisa dibayangkan betapa repotnya mencari keseimbangan antara bekerja dan kehidupan pribadi. Karena itulah, di negara-negara Eropa pada umumnya, keputusan untuk mempunyai anak dalam suatu pernikahan benar-benar dipikirkan secara matang.
Keputusan bagaimana anak-anak yang terlahir akan diurus harus sudah ditentukan bahkan sebelum hamil. Ada yang meminta bantuan oma dan opa untuk menjaga mengurus anak saat mereka bekerja, ada yang mengurangi jam kerja, atau alternatif lainnya, seperti menitipkan anak di tempat penitipan anak.
Ada anggapan di masyarakat Belanda yang mengatakan “kasihan” jika anak selama 5 hari dalam seminggu dititipkan di tempat penitipan anak. Selain itu, ada pula rasa bersalah, terutama di kalangan ibu, karena dengan bekerja mereka tidak selalu bisa bersama dengan anak dan mengurusnya di rumah. Maka tak mengherankan kebanyakan wanita di Belanda bekerja paruh waktu setelah punya anak.

Menurut CBS, Sentral Biro Statistik Belanda, hanya 27 persen dari wanita pekerja di Belanda bekerja penuh waktu (36-40 jam/minggu), sisanya bekerja paruh waktu (28-35 jam/minggu). Belanda bisa dibilang juara dalam banyaknya jumlah pekerja paruh waktu dibandingkan dengan negara Uni Eropa lainnya.
Selain pemikiran yang konvensional yang kurang menyetujui menitipkan anak di penitipan, fasilitas ini juga tidak murah. Namun dengan bekerja paruh waktu, biaya pengasuhan anak dapat dihemat dan anak-anak tetap dapat tinggal di rumah. Selain itu, jika anak sakit, anak tidak bisa dititipkan di tempat penitipan anak. Orangtua bagaimana pun harus memutar otak agar tetap ada yang mengurus anak sakit jika tidak bisa ambil libur kerja.
Ragam Penitipan Anak
