Penulis: Yuke Mayaratih
Den Haag, Wartaeropa.com – Tong Tong Fair ke-63 digelar di Lapangan Malieveld Den Haag Belanda dari 31 Agustus sampai 10 September 2023.
Sejak pertama digelar pada 1959, Tong Tong Fair (TTF) selalu menarik banyak pengunjung. Tak kurang dari 85 ribu orang mengunjungi festival tertua di Belanda itu setiap tahunnya.
Namun para pedagang di Paviliun Indonesia merasakan kondisi berbeda. Dagangan mereka yang tahun lalu laris manis sampai habis, kini membuat mereka miris.
Betapa tidak, barang dagangan mereka yang sengaja diboyong dari Tanah Air hanya laku 50 persen. Bahkan ada yang kurang dari itu.
Akibatnya, mereka rugi karena tak bisa menutupi biaya operasional yang mereka sudah keluarkan. Hal ini dikeluhkan setidaknya lima pedagang di Paviliun Indonesia yang ditemui Kabar Belanda.
Mereka berjualan aneka produk makanan siap saji Indonesia, seperti rendang, abon, dendeng sapi, teri kacang, dan aneka keripik, seperti keripik singkong, keripik sukun dan kerupuk.
Seluruh makanan khas Indonesia itu pada TTF tahun lalu terjual habis. Namun entah kenapa, di TTF tahun ini tidak semuanya terjual. Di hari ketujuh acara saja, baru seperempat dagangan mereka yang terjual.
Audra, seorang pedagang yang sudah mengikuti acara TTF selama 6 tahun berturut-turut, kini barang dagangannya tak selaris tahun lalu.
“Tahun lalu dagangan saya laku keras. Saya kira ini karena faktor bulan digelarnya Tong Tong Fair di bulan September,” ujarnya. Barang dagangan Audra berasal dari Jakarta dan Padang, daerah asalnya.
Sebelum TTF digelar , Audra sengaja datang ke Belanda untuk membuka stand di TTF 2023, Den Haag.
Hal senada juga diakui Wida, pemilik Wida Floris Batik dan Craft asal Yogyakarta. Barang dagangan utama Wida adalah kerajinan tangan, seperti kipas batik, sarung guling dan guling.
Namun ia juga menjual produk makanan, seperti dodol dan manisan buah. Biasanya warga Indonesia yang lama tinggal di sini banyak yang kangen makan dodol.
Menurut Wida, tahun lalu adalah tahun yang menguntungkan. Bukan hanya pengunjung yang membludak, tetapi barang dagangan juga ludes dalam hitungan hari.
“Tahun ini saya tidak membawa jaket dan kimono batik, karena banyak pedagang lain yang juga sudah menjual itu. Saya memilih menjual produk lainnya,” ucap pedagang yang sudah berjualan di TTF sejak 2015 tanpa absen itu.
Karena saat ini udara panas, jadi yang paling laku saat ini adalah kipas batik. Ia menjual kipas batik dengan harga 3- 4 euro per buah.
Beberapa penyebab
Ada beberapa dugaan kenapa pengunjung tak sebanyak dan seantusias tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya (sebelum pandemi).
Wida menduga, barang dagangannya tahun lalu laris manis karena TTF sempat absen selama 2 tahun akibat adanya pembatasan saat pandemi COVID-19 melanda dunia, termasuk Belanda.
“Jadi pengunjung kangen untuk mengunjungi TTF yang sempat absen 2 tahun,” tutur perempuan asal Yogyakarta itu.
Sementara itu, Audra menduga, pada Agustus 2023 banyak warga Belanda pergi liburan. Uang mereka sudah dihabiskan saat liburan. Jadi tak banyak dari warga asli Belanda yang mengunjungi TTF untuk berbelanja.
Alasan lainnya, diduga harga tiket masuk Tong Tong Fair yang naik 3,5 euro. Jika sebelumnya tiket masuk 15 euro, sekarang 18,50 euro per orang saat weekend. Padahal sebelum pandemi pengunjung hanya membayar 12,00 euro.
Selain itu, perang Ukraina-Rusia yang berdampak kenaikan harga di semua sektor. Jadi harga sewa stand dan lainnya juga ikut naik.
Ada pula faktor cuaca. Gelombang panas yang melanda Eropa tengah, termasuk Belanda membuat warga Belanda memilih pergi ke pantai atau tinggal di rumah. Maklum, suhu udara bisa mencapai 32 derajat Celcius.
Pada tahun-tahun sebelumnya TTF digelar selama 10 hari, pada bulan Mei hingga Juni. Namun pasca-pandemi (2022 dan 2023), TTF digelar pada akhir Agustus hingga awal September.
Terpaksa obral sisa barang
Meskipun barang dagangannya tidak basi karena bukan jenis makanan, namun Wida mengaku kerepotan karena harus membayar sewa tempat. Dia berharap TTF tahun depan akan lebih baik lagi.
Sementara Audra, memilih mengobral sisa barang dagangannya semurah mungkin, yang penting bisa terjual habis.
Seperti emping, sumpia dan telur gabus, yang biasanya dijual 3 euro per bungkus dilego menjadi 1 euro. Sedangkan keripik sukun dan sanjai ( keripik singkong pedas khas Padang) yang biasanya di jual 4-5 euro per bungkus, menjadi 2,50 per bungkus.
“Asalkan barang habis aja sih. Kan ngga mungkin saya bawa kembali ke Indonesia,” ujar Audra, yang sehari-hari di Indonesia berprofesi sebagai penjahit kebaya itu.
Berbeda dengan Wida, Audra akan pikir-pikir dulu apakah tahun depan akan ikut TTF atau tidak.
Ambil hikmahnya
Meski barang jualannya hanya laku separuhnya, Wida mengaku senang bisa ikut berjualan di Belanda. Toh, ia berjualan bukan semata-mata mencari keuntungan, melainkan juga bisa bersilaturahmi dengan para pelanggannya, dan bisa memperluas jaringan.
Wida mengisahkan, pelanggannya yang warga Belanda biasanya loyal. “Dia selalu mencari saya dan bahkan memesan barang sebelum saya datang di acara Tong Tong, melalui WhatsApp,” tuturnya.
Jadi setibanya Wida di Belanda, ia langsung mengontak dan menginfokan para pelanggannya kalau dirinya sudah siap di stand TTF, dan barang yang dia pesan sudah tersedia.***