Saat waktu menunjukkan pukul 17.00, kami bergeser ke lokasi makan malam, di sebuah restoran yang letaknya berada di gedung yang sama.
Sambil menunggu meja disiapkan, secara personal saya berbincang-bincang dengan Bapak Mayerfas. Obrolan ringan saja, seperti di mana saya tinggal, berapa lama di Belanda, dan seterusnya.
Tak lupa aku mengenalkan kota Alkmaar, tempat aku tinggal, yang ternyata belum pernah beliau kunjungi. Tentang pasar keju yang terkenal, dan banyaknya warga Indonesia yang tinggal di Alkmaar dan sekitarnya. Aku berharap suatu saat beliau melakukan kunjungan ke kota Alkmaar.
Selama makan malam hingga selesai makan, beliau tak henti menanggapi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, yang memang tukang ngomong.
Dari percakapan di meja makan ini aku menangkap kesan, beliau adalah sosok bapak yang ramah, sabar, mengayomi, dan juga dekat dengan masyarakat biasa.
Hal ini juga diungkapkan Ekin, salah seorang kontributor KBC, yang menceritakan pertemuan pertamanya dengan Bapak Mayerfas di sebuah warung makan Indonesia di Utrecht.
Saat itu, Ekin dengan temannya sedang makan. Lalu datanglah Bapak Mayerfas. Mungkin karena berwajah Indonesia, beliau langsung mendatangi meja Ekin dan menyapa serta mengajak ngobrol.